Artikel Bagus Tentang "Perda Ngangkang" di Aceh
Opini Tentang "Perda Ngangkang" di Aceh
Aceh memang masih menjadi magnet dalam pemberitaan. Lama setelah kabar penerapan syariat Islam berupa hukuman cambuk bagi pelanggar hukum syariat, Aceh kembali disorot karena penerapan aturan wanita dilarang duduk mengangkang ketika menaiki kendaraan bermotor.
Kalau menurut saya melihat ulasan dan diskusi di TV swasta nasional, terutama TV ini dan itu, kuping saya udah otomatis nolak. Argumentasi pihak-pihak pengusung HAM sangat manis, sedangkan pro syariat terkesan terpojokkan dan tidak berprikemanusiaan. Tapi yang jelas, penyajian pembicara kadang kurang berimbang dan moderator/host terlalu memihak menyudutkan salah satu pihak.
Artikel di bawah ini cukup bagus untuk dibaca, untuk menambah pengetahuan dan melihat suatu perkara dari sisi yang berbeda.
Islamedia
- Berita tentang Aceh selalu seksi. Sebab Aceh adalah serambi Mekkah
yang dengan otonomi khusus dan keistimewaannya telah mendeklarasikan
diri sebagai provinsi yang melaksanakan syariat Islam. Memang faktanya
selalu ada upaya menyudutkan syariat Islam yang diformalisasikan menjadi
hukum positif. Sedikit saja ada kebijakan baru, lantas
berbondong-bondonglah wartawan dari berbagai penjuru untuk meliputnya,
namun dengan angle yang diskriminatif: HAM.
Bagaimana tidak? Setiap
berita tentang sesuatu yang bernuansa syariah, pastilah media-media ini
dengan cepat melakukan investigasi dan menguliti peristiwanya dengan
kacamata mereka. Maka ini melanggar kebebasan, ini mengekang perempuan,
itu menodai HAM dan itu mencederai domokrasi. Begitulah kilahnya.
Sampai akhirnya ketika
kemarin "Ngangkang Style" menjadi salah satu trending topic nasional.
Pasalnya adalah apa yang disebut para wartawan sebagai "perda syariah
tentang larangan duduk mengangkang di sepeda motor" yang akan diterapkan
oleh Walikota Lhokseumawe kepada seluruh warganya. Sampai koran The
Jakarta Post menjadikannya salah satu topik utama. Media asing semacam
BBC pun tak mau ketinggalan memberitakannya. Heboh sekali, bukan?
Namun lihatlah dengan
jujur. Yang ada hanyalah upaya merorong Islam. Pemberitaan yang
berseliweran di media tak memenuhi asas cover both side. Narasumber
berita hanya berasal dari kelompok yang kontra peraturan tersebut. Kalau
tidak aktivis NGO HAM, ya aktivis Komnas Perempuan. Nanti, agar
seolah-olah mengcover posisi ulama, sebagai reprentasi muslim
diwawancarailah para "cendekiawan muslim" seperi Ulil Abshar Abdalla dan
Siti Musdah Mulia. Ya wajar saja mereka menolak, wong mereka memang
anti formalisasi syariah. Wong mereka memang dari kalangan liberal yang
menolak ajaran agama sebagai sumber hukum.
Sampai tadi malam, dalam
acara Debat di Kabar Petang TV One membahas kembali tema itu dengan
judul provokatif, "Perda Syariah, Siapa Resah?". Dihadirkanlah Yenni
Wahid dari Wahid Institute, Neng Dara Affiah dari Komnas Perempuan,
Jazuli Juwaini anggota DPR RI FPKS dan Kapuspen Kemendagri. Kalau
pejabat Kemendagri sudah pasti jawabannya standar. Semua ada
prosedurnya. Nanti kita akan konfirmasi, klarifikasi dan seterusnya.
Okelah.. Memang begitu aturannya.
Nah, yang bikin geli
adalah kekoplakan dalil pengasong liberalisme seperti Yenni, Dara dan
sejumlah hadirin yang sengaja dihadirkan seperti Ulil Abshar, Siti
Musdah Mulia serta sejumlah aktivis HAM. Dalam debat itu, semua dalih
mereka dimentahkan. Yang buat istilah "Perda Syariah" siapa? Itulah
taktik liberalis mengelabui orang awam dengan permainan istilah. Padahal
tak ada Perda Syariah. Hanya LSM komprador yang mendapat kucuran dollar
dari Barat yang setia menggunakan terma ambigu semacam itu.
Lalu, muncul lagi
pernyataan bahwa perda ini "diskriminatif terhadap perempuan". Secara
telak, Mahendradata memukul statement koplak ini. Apa dulu definisi
diskriminatif itu? Apa itu diskriminasi? Toh perempuan dan laki-laki
secara kodrat memang berbeda. Apakah setiap perbedaan itu disebut
diskriminasi? Kalau begitu kebijakan cuti hamil 3 bulan itu
diskriminatif, dong? Soalnya laki-laki tidak mendapat hak yang sama.
Kalau begitu diskriminatif juga dong panitia acara yang hanya memberi
makan malam pada pembicara, namun tidak kepada peserta? Para hadirin
hanya bisa tersenyum dan tertawa seraya bertepuk tangan atas kalahnya
dalih koplak kaum liberalis.
Selain itu, muncul juga
istilah "perda kontroversial". Lagi-lagi Mahendrata meluruskan kesesatan
istilah tersebut. Yang dimaksud kontroversi itu apa? Apakah satu dua
orang tidak setuju, sementara ribuan yang lain setuju lantas disebut
kontroversial? Mati kutu. Begitulah kaum liberalis tak bisa menjawab.
Lantas Siti Musdah Mulia mengalihkan pembicaraan, ia yang awalnya tak
setuju syariah di awal debat berubah pikiran. Namun setelah kalah debat,
ia mengubah strategi. Larikan tema pembicaraan. Dan saya sudah menduga
dia dan juga Ulil akan bertanya, "Oke, syariat Islam. Tapi syariat Islam
yang mana? Islam menurut siapa? Karena setiap agama memiliki
interpretasi yang tidak tunggal." Duh.. Cape deh. Ini alasan yang gokil
banget. Khas pemuja relativisme yang anti kebenaran. Khas orang-orang
yang malas berdiskusi.
Yang lebih lucu adalah
saat Yenni Wahid di pengujung acara mengatakan kalau kodrat perempuan
hanya 4 yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. " Di luar itu,
laki-laki dan perempuan semuanya sama," pungkasnya. Oke, tentu saja
semua sepakat laki-laki dan perempuan harus adil dalam pembagian hak dan
kewajibannya. Sebagai Muslim, pedoman pembagian hak dan kewajiban juga
sudah tegas dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Jadi sah-sah saja kalau
umat Islam menggunakan ajaran agamanya sebagai patokan hukum. Perempuan
dan laki-laki sama-sama boleh mendapat pendidikan oke, sama-sama boleh
berkerja oke, sama-sama mendapat kesempatan politik juga tidak masalah.
Namun jangan sampai atas nama kesetaraan, lantas aktivis yang mengaku
“membela kepentingan perempuan” menggugat ajaran agama. Jangan aturan
menutup aurat dituduh mengekang kebebasan. Jangan larangan berkhalwat
difitnah memasung hak asasi.
Semua pernyataan Yenni
ini sebenarnya di awal sudah dimentahkan oleh Jazuli Juwaini dan Ismail
Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia. Juga fitnah soal Indonesia bukan
negara agama. Kata Jazuli, memang kita bukan negara agama, kita sepakat
dengan itu. Namun kita juga bukan negara sekuler. Kita tidak anti
agama. Tidak boleh negara memberangus ajaran agama. Apalagi konstitusi
kita Pancasila, menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ismail
Yusanto menambahkan, dalam ajaran Islam, kewajiban syariat Islam hanya
berlaku untuk umat Islam, sementara untuk yang beragama lain tetap
diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Jadi,
tidak ada diskriminasi dan pemaksaan seperti yang selalu
digembar-gemborkan media.
Uniknya, Yenni Wahid
dalam acara itu membuat perumpamaan yang sempat mendapat aplaus hadirin.
Dia mengkritisi perda-perda yang mewajibkan perempuan menutup aurat.
Katanya, yang kotor itu adalah otaknya laki-laki. “Masa’ melihat
perempuan ngangkang di sepeda motor bisa merangsang birahi?” Dia
mencontohkan negara-negara Arab yang perempuan menutup aurat namun
tingkat perkosaannya nomor wahid, mengalahkan negara Eropa yang
perempuannya buka-bukaan. Sedihnya, pernyataannya ini adalah kedustaan
belaka. Entah dia sadar atau tidak. Ustadz Abdullah Haidir,Lc
sebagaimana dikutip fimadani.com mengatakan, “Berdasarkan statistik
resmi, negara papan atas kejahatan perkosaan terhadap warganya justru
diduduki oleh negara-negara Eropa. Bagaimana dengan Arab Saudi? Dari 116
negara yang diteliti, Arab Saudi justru berada di peringkat terbawah di
posisi 115.” Cek saja sumbernya di http://www.nationmaster.com/graph/cri_rap-crime-rapes. Kata anak Medan, “Bah, botullah koplaknya penyembah berhala liberalisme ini. Kekmananya? Ngomong di tipi pun menipu.”
Mendudukkan “Perda Ngangkang”
Benarkah ada Perda
Ngangkang? Cek langsung ke lapangan dan Anda akan menemukan bahwa yang
ada hanyalah Seruan Bersama yang diteken Walikota, Ketua DPR Kota
Lhokseumawe, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dan
Ketua Majelis Adat Aceh Kota Lhokseumawe. Isinya juga tidak seheboh yang
ada di pemberitaan media. Seruan tersebut juga tidak hanya melarang
duduk mengangkang, tapi juga menyeru tentang berpakaian sopan. Bahkan
larangan duduk mengangkang itu mendapat pengecualian dalam kondisi
darurat. Bukankah ini satu hal yang wajar? Apalagi bagi Aceh, provinsi
yang khusus lagi istimewa?
Sekjen Himpunan Ulama
Dayah Aceh (HUDA) menilai, perempuan duduk mengangkang di atas sepeda
motor dengan aurat terbuka atau tidak mengenakan pakaian muslimah, bisa
meruntuhkan marwah seorang perempuan. “Kebijakan ini bisa mengembalikan
marwah perempuan yang ada di Aceh, kalau yang di luar Aceh tidak ada
problem. Berbicara marwah sangat tergantung pada daerah," katanya,
dilansir Okezone, Kamis (3/1/2013)”
Dari sisi agama,
perempuan tetap diperbolehkan duduk terbuka atau ngangkang di sepeda
motor asal jangan sampai terbuka auratnya dan tidak menciderai marwah
seorang perempuan. “Sah-sah saja, asal aurat tetap terjaga, pakaian
tetap sopan tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menciderai marwah
perempuan itu sendiri," ujar Faisal yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama
Aceh.
Dalam konteks adat
istiadat, seorang perempuan yang duduk ngangkang di sepeda motor
menyerupai laki-laki dinilai bisa meruntuhkan marwah perempuan dan tidak
sesuai dengan nilai-nilai keAcehan. Ini tidak hanya identik dengan
syariat Islam, tapi kalau saya lihat lebih kepada upaya untuk
mengembalikan adat istiadat dan budaya Aceh yang mulai hilang. Sekira 20
tahun lalu, lanjut Faisal, perempuan ngangkang di sepeda motor
merupakan hal tabu dan langka di Aceh, karena duduk seperti itu dinilai
bisa menjatuhkan harga diri perempuan itu sendiri.
Aktivis Gerakan
#SyariatkanMedia, Muda Bentara melalu akun jejaring sosialnya
berpendapat bahwa menerapkan aturan berbasis kearifan lokal adalah hak
setiap daerah. Meskipun aneh, namun begitulah local wisdom Aceh. Duduk
secara mengangkang (duek phang) memang tabu dalam tradisi Aceh.
“Mungkin Pemko di sana punya pertimbangan lain. Misal seperti Singapura
yang melarang memelihara kucing bagi penduduknya, melarang penjualan
permen karet. Ataupun semisal Inggris yang tak boleh menampilkan dua
jari (victory) yang disana dianggap menghina. Misal ketika di Amerika
ada aturan yang apabila ada orang yang menyapa orang lain sambil
mengupil maka hal itu bisa dipidanakan, misal juga ketika seseorang di
Amerika menampilkan ekspresi jari yang dianggap melecehkan, misal juga
sebuah maskapai penerbangan di New Zealand yang tak membolehkan
penumpangan mengenakan celana kendor dan apabila mengenakannya akan
diturunkan dari pesawat, “ urainya panjang lebar. Itu semua negara maju
dan tak ada yang protes serta meributkan.
Lebih tegas, aktivis
Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT), Thayeb Loh Angen dalam sebuah
diskusi budaya di Banda Aceh mengatakan bahwa aturan baru Walikota
Lhokseumawe adalah hak eksklusif penduduk setempat. Kritikan yang
berkembang selama ini kebanyakan datang dari penduduk luar kota
Lhokseumawe merupakan hal yang tidak pada tempatnya. Setuju atau tidak
tentang aturan itu adalah hak mutlak penduduk Kota Lhokseumawe. “Ini
bukan artinya saya mendukung kebijakan pemerintah Kota Lhokseumawe
tentang larangan tersebut atau karena asal saya dari sana, tidak sama
sekali. Saya katakan ini karena inilah kebenarannya. Setiap wilayah dan
daerah punya hak eksklusif. Ini salah satunya,” kata Thayeb.
Rektor Institut Sastra
Hamzah Fansuri ini mengingatkan supaya orang-orang mengurus daerahnya
atau keluarganya masing-masing. Menurutnya, ini negara demokrasi, setiap
daerah punya hak dan kebudayaannya. “Orang Aceh atau Indonesia jangan
seperti istilah hadih majaAceh, ‘Keubeue grop paya guda coat iku (kerbau
turun ke paya tapi malah kuda yang ketakutan sampai teak ekornya-red).
Lucu jika aturan Lhokseumawe diprotes oleh orang Aceh Utara, apalagi
Banda Aceh atau Jakarta. Itu tidak pada tempatnya. Sebaiknya orang
mengurus daerah atau keluarganya masing-masing,” kata Thayeb.
Epilog
Intinya, semangat
Walikota Lhokseumawe untuk melestarikan adatnya adalah sah dan bahkan
patut didukung. Bagi orang Aceh agama ngon adat lagee dzat ngon sifeut.
Agama dengan adat seperti dzat dengan sifat, tak bisa dipisahkan antara
Aceh dan Islam. Seperti juga Minang yang punya asas adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah. Kalau kita memang pro demokrasi maka
hargailah budaya lokal setempat dan hormatilah aspirasi masyarakat
Lhokseumawe. Jangan karena lemahnya pemahaman atau kurangnya iman,
membuat kita mati-matian menentang Islam. Kalau cuma perkara teknis yang
jadi masalah tentu bisa didialogkan. Kalau isi seruan ini dianggap
terlalu mengada-ada atau kurang sempurna, silakan sampaikan kritik dan
masukan dengan jalurnya. Kata Mahendradata, “Kalau Anda rasa ini
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi silakan adukan ke Mahkamah
Agung. Toh dulu Anda sudah kalah saat judicial review di MK.”
Yang jelas, jangan lagi
pakai dalil dan fakta koplak hanya untuk menentang syariah. Tak usah
provokasi masyarakat dengan berita dan informasi bohong. Nikmati saja
demokrasi ini. Kita rayakan kebebasan dengan tanggungjawab sesuai hukum.
Dan kita buktikan apakah Syariah atau Liberalisme yang membawa berkah?
Wallahua’lam bish-shawab.
Anugrah Roby Syahputra
Penulis adalah pegiat Kelompok Studi Ulil Abshar Banda Aceh.
Sumber : http://www.islamedia.web.id/2013/01/dalil-koplak-pengasong-liberalisme.htm
Posting Komentar untuk "Artikel Bagus Tentang "Perda Ngangkang" di Aceh"
Terima kasih sudah berkunjung